Kukenal dia sejak ia masih SMA. Saat awal aku mulai tinggal di Kulon Progo. Di antara saudaranya ia memang tak secantik dan sepintar adik-adiknya. Tetapi ia rajin bekerja dan sangat ramah.
Selang beberapa tahun kemudian, dia mengabari kalau sudah menikah dan kerja di batam.
Ketika Apotekku mulai buka, dia datang menemuiku dan bercerita kalau sudah tidak kerja di batam. Kembali ke daerah asal suaminya dan merawat ibu mertuanya yang sudah sakit-sakitan. Dia bersama suaminya membuka usaha jualan rujak es krim.
"Dijual kemana?",tanyaku.
"Bojoku kula mubeng mbak, terus kula dodol teng omah, sering angsal pesenan ngge manten-manten. Alhamdulillah mbak", ceritanya padaku.
Sepertinya rezekinya memang bagus, melihat ceritanya bagaimana dia merawat ibu mertuanya, membawanya berobat kesana kemari. Jelas itu butuh biaya banyak. Atau mungkin bakti mereka pada ibunya yang meluaskan rezqinya. Sepertinya begitu.
Sayangnya saat ibu mertuanya meninggal, dia tidak memberi kabar.
Sore itu dia kembali datang ke apotek, cerita ke sana kemari. Sampai akhirnya dia cerita mau ke rumah ibunya, mengirim uang untuk membantu adiknya.
"Adikmu isih kuliah, adikmu sing endi?".
"Sing ragil mbak, pun lulus kuliah(dia menyebut sebuah universitas swasta ternama di yogyakarta) sakniki kerja teng kantor lingkungan hidup".
"Adikmu wis sarjana tur kerjo kok isih mbok ewangi?".
"Dheke niku kan sarjanane sanes lingkungan hidup, ajeng ndherek pelatihan teng UGM mbayar 5 jt".
Kutatap sinar ketulusan di dalam matanya. Ya Allah moga Kau luaskan rizqinya.
Malam hari, aku cerita ke suamiku.
"Kok aneh yo pakde, mosok adine sarjana njaluk tulung karo mbakyune sing dodolan rujak eskrim?".
"Yo ngono kui budhe masyarakate dewe, neng kantor ki ana PNS nyilih duit karo pegawai honorer"
Memprihatinkan bukan.? Ketika kemandirian dan menjaga ifaf(kehormatan diri) untuk tidak meminta tolong/merepotkan orang lain tidak dipunyai oleh orang-orang yang seharusnya lebih berkewajiban untuk menolong orang lain. Bukankah dia sudah diberi lebih oleh Allah?