Senin, 18 Agustus 2014

STATUS FB ROMADHON



Malam bergerak menggeser hari
Udara dingin membekukan bumi
Hati tersentak malam keberapakah ini?
Betapa diri ini lalai membiarkan hari berganti
Sedang amalan tak kunjung berarti
Udara dingin yang menggenggam malam
menggugah jiwa
Mengingatkan jiwa-jiwa yang mulai lemah
Ada malam yang Allah janjikan lebih mulia dari seribu bulan

Saatnya berhenti sejenak untuk menghitung langkah
Melihat ke belakang
Merekam jejak
Mengukur yang sudah terlewat
Tak harus sampai ke ujung untuk meperkirakan hasil
Tak perlu menunggu menyesal untuk melihat kesalahan diri
Tinggal beberapa hari lagi
Masih ada kesempatan untuk berbenah diri..

Ya Allah...
Saat kami mampu menahan lapar tapi hati tak kunjung bisa sabar
Saat kami membaca ayat-ayatMu tapi tak kurang lama juga kami habiskan waktu untuk membaca perdebatan tak bermutu
Saat sholat pandangan mata kami tertunduk bukan karena khusyuk tapi karena ngantuk
Maka ampuni kami Ya Allah...
Dan terimalah amal ibadah kami..
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

KEBERSAMAAN YANG MAHAL



Salah satu murid pengajian remaja yang kuasuh pamit untuk meneruskan SMP di jakarta. "Disuruh ibu budhe," begitu dia bercerita.
Sejak kecil dia diasuh simbahnya, sedang ibu dan bapaknya kerja di jakarta. Bekerja sebagai buruh di ibukota bisa jadi tidak memungkinkan orangtuanya untuk mencari pengasuh anak untuk merawat anaknya ketika mereka bekerja, maka solusi paling mudah adalah menitipkan anaknya pada neneknya untuk diasuh.
Sangat wajar ketika si ibu berkeinginan untuk bisa bersama dengan anaknya ketika anaknya mulai besar.
Simbah muridku tadi rupanya tetap tidak sampai hati untuk melepas cucunya, bisa jadi dia khawatir keadaan cucunya karena toh bapak dan ibunya tetap bekerja dari pagi sampai sore, siapa yang mengawasi cucunya? Maka diapun ikut pindah ke jakarta.
 
Cerita menjadi mengharukan dan absurd bagiku ketika kutahu muridku itu punya adik yang sekarang baru masuk SD. Rupanya kakak beradik itu dititipkan pada simbahnya bersama buliknya. Dan sekarang adiknya itu tetap ditinggal untuk bersekolah di sini bersama buliknya.
 
Ya... Allah, betapa sulitnya mereka mencari uang, hingga penghasilan mereka takcukup untuk membeli kebersamaan dengan anak-anaknya.
 
Potret kehidupan buruh urban yang kurasa tidak cuman keluarga ini saja.
Berharap Allah menolong keluarga-keluarga senasib dengan mereka dengan memberi hidup dan kehidupan yang baik dan menjadikan anak -anak mereka menjadi anak yang sholih/sholihah,yang mandiri dan bertanggungjawab terhadap diri dan keluarganya.
Semoga Allah melindungi dan menjagamu, .

JALAN-JALAN PAGI

Salah satu segmen kehidupanku yang kusukai adalah saat jalan-jalan pagi berdua. Meski terkadang aku harus dipaksa dulu untuk mau jalan-jalan. Lumayan membuat badan segar dan banyak kejadian yang menarik yang kutemui di acara jalan-jalan itu.
Salah satunya adalah banyak rejeki yang datang menghampiri. Benar-benar menghamipiri.
Pernah saat kami berjalan mau pulang lewat rumah tetangga yang sedang memindah lele dari kolamnya karena kekurangan air maka lele-lele itu saling menggiggit, melihat kami jalan, si ibu melambaikan tangan memanggil kami,"Mbak purun masak lele?". Maka pulanglah kami dengan 3 ekor lele sebesar lengan orang dewasa.
 

Kemudian, ada lagi saat kami berjalan di depan rumah seorang teman, mereka melambaikan tangan menyuruh mampir dan membagi panenan bawalnya.
Entah apa kami seperti pengembara kekurangan bekal atau nampak suka makan, yang jelas kami tak pernah menolak rezqi, apapun itu kami terima dengan senang hati. Badan sehat kadang masih bawa rambutan, pisang ataupun pepaya. Pernah juga ada yang kasih buku.
 

Rizqi dari Allah memang bisa dari arah mana saja, kadang tanpa disadari kita bergerak menjemput rizqi kita. Meski usaha dan apa yang diperoleh tidak nyambung sekalipun.
Maka jika seseorang merasa sempit rezqinya, bisa jadi karena dia tidak mengenali rizqi yang diterima hanya karena tak sesuai dengan apa yang diinginkannya.
 

Maka memahami rezqi yang kita terima adalah langkah awal dari bersyukur kepada Allah Azza wa jalla, artinya langkah awal untuk bahagia.

KENANGAN HAJI 5

Masjid Nabawi sudah penuh meski waktu subuh masih lama ketika aku memasukinya dini hari itu. Terpaksa menggelar sajadah diantara karpet-karpet yang sudah terisi penuh oleh jamaah. Kebetulan pagi itu berangkat ke nabawi hanya berdua dengan suami tidak bareng dengan ibu-ibu jamaah lainnya. Setelah lewat waktu beberapa lamanya, tempat duduk kanan kiriku sudah terisi penuh tinggal satu tempat kosong di sisi kananku dan kiri depanku.
Tak lama berselang datang 2 orang ibu-ibu berkulit hitam, mungkin dari Sudan tapi yang jelas berkebangsaan afrika. Satu orang duduk di sisi kananku, satunya lagi duduk di kiri depanku. Karena memang hanya itu tempat duduk yang tersisa.
Ternyata ibu yang duduk di sebelahku tidak membawa sajadah, padahal lantai masjid nabawi sangat dingin, suhu di Medinah dingin sekali kala itu.
Dengan bahasa isyarat ibu berkulit hitam uang duduk di kiri depanku memintaku untuk membagi sajadahnya dengan temannya, dia sendiri sudah membawa sajadah.
Dengan bahasa isyarat juga, kubalas aku tidak kuat dengan dinginnya lantai masjid jika harus berbagi sajadah dengan temannya, kuajak dia untuk bertukar posisi denganku agar dia bisa berbagi sajadah dengan temannya. Alhamdulillah dia mengerti, kami pun bertukar posisi.
Kepahaman bisa diwujudkan jika tak ada prasangka buruk dan saling mengerti meski dengan seseorang yang tidak saling kenal, berbeda bangsa dengan bahasa isyarat pula. Asal tujuannya sama.
Lalu bagaimana bisa sepasang suami istri bisa berselisih paham hingga level mengkhawatirkan hanya karena masalah sepele bahkan kadang karena masalah di luar kepentingan mereka sendiri? Jelas mereka telah hidup berdua, berbicara dengan bahasa yang sama pula.
Bisa jadi karena ada prasangka dari salah satu pasangan, ketidakmauan untuk mengerti atau tujuan mereka berdua yang mulai tidak sama.
Wallahu alam.