Jumat, 23 Agustus 2013

MOTIVASI

Setiap ada yang curhat kepadaku maka dengan sigap mencoba untuk memotivasi dan menasehati panjang lebar. Ketok'e ampuh, padahal kelihatan kalo tidak bisa membuat kalimat yang padat dan efektif atau malah karena hobbi? Crigis maksudnya.
Giliran diri sendiri yang suntuk, bete dan pengin dapat motivasi, suamiku menjawab dengan simpel,' Mbok ya uwis to Di, alhamdulillah isih diparingi urip". Ha ha sadis gak sih?
Tetapi jawaban singkat itu langsung mengembalikan kesadaranku daan mengingatkan pada nikmat yang Allah berikan, pada kesempatan yang sampai detik ini masih dibentangkan.
Ya...hidup adalah nikmat besar, karunia Allah yang amat sayang untuk di sia-siakan. Ketika nafas masih bisa ditiupkan maka nikmat Allah tak akan lepas diberikan kepada hambaNya, jadi mengapa harus ada kata putus asa?
Mengetahui makna hidup adalah motivator terkuat untuk terus bergerak, berbuat dan mempersembahkan amal yang terbaik kepada Allah azza wa jalla.

PERHATIAN

Ketika merawat bapak mertua, kala itu beliau sudah menderita kelumpuhan separo tubuhnya karena sakit kanker yang dideritanya. Setiap hari beliau minta di sediakan makanan kecil yang sudah pasti tidak dimakannya, keinginannya pun ganti-ganti bahkan makanan kecil yang jelas-jelas tidak disukainya.
Ketika kutanya ," Bapak mboten seneng panganan niki to, kok ngersakake ?".
"Ora papa, tukokna wae. Ora tak maem ra po po sing penting ana'.
Lama baru kupaham apa yang sebenarnya beliau ingiinkan, keberadaan sesuatu itu sangat penting buat bapak meski bukan substansi sesuatu itu yang dibutuhkan.Bisa jadi perhatiannya itu yang menyenangkan hati beliau/ mencari sualu alasan yang bisa membangitkan semangat hidupnya. Dalam kondisi seperti itu memang apa yang bisa membuat bahagia di akhir hidup beliau diuasahakan meski sering kali tidak rasional.
Hal yang sama juga terjadi manakala sudah lama tidak menengok orang tua kemudian ketika orangtua menelpon, maka ketika kita tanya," ada apa bu", terus jawabnya,"ora ana apa-apa meng pengin krungu suaramu wae".
Begitulah keberadaan kita, ada/tidaknya kita menjadi lebih penting daripada apa yang kita lakukan. Dalam kasus-kasus seperti ini tidak berlaku rumus kualitas pertemuan lebih penting dari kuantitas.

Sabtu, 17 Agustus 2013

MASA TUA

Ada seorang bapak-bapak, sudah lama pensiun, menjadi pasien langganan apotek. Sering beliau datang untuk menebus obat yang diresepkan dokternya atau bertanya untuk mengatasi berbagai keluhannya. "Mbak Apoteker", begitu biasanya bapak itu menyapaku.
Pernah suatu saat bapak itu datang ke apotek " Mbak, aku ki kesel banget, obate apa? Meng nyapu latar we kok kesel'.
"Latar'e ingkang disapu sepinten pak?", tanyaku.
" Yo... rong kebon kae, le nyapu kat mau esuk nganti jam sewelas iki mau rung rampung". Ha ha ha bagamana tidak capek coba, kalo aku sudah tepar menyapu seluas itu.
Hingga ketika sang bapak mulai sakit-sakitan dan tidak bisa berjalan, interaksi kami masih berlangsung, beliau menelepon apa yang dibutuhkannya, selang bebetapa lama datanglah utusannya, entah pembantunya, tetangga, atau keponakannya. Bapak ini tinggal seorang diri tanpa istri, tanpa anak.
Ketika bapak itu semakin lemah maka ada keponakannya, sepasang suami istri yang menjadi penyambung antara kami dengan bapak itu. Setiap hari suami istri tadi mondar mandir dari rumahnya ke rumah bapak tadi untuk mengurus keperluan bapak tadi. Jika ada yang diinginkannya, maka mereka berdua mampir ke apotek.
"Mbak, pakde nyuwun vitamin", itu salah satu contoh permintaannya, maka kami langsung tahu apa yang dimintanya. Segala terapi suportif yang dimintanya jika dibilang dari apotek, sang bapak tidak protes.
Di bulan romadhon kemarin, di bulan yang penuh berkah, Allah memanggilnya. Semoga bapak itu diberi khusnul khotimah, Allah menerima semua amal ibadahnya dan mengampuni semua dosanya.
Ketika aku takziah, dan bertemu dengan keponakan bapak tadi, ibu itu berkata," Maturnuwun nggih mbak, pun ndherek ngladosi pakdhe".
Tentu saja, aku merasa ibu itu terlalu berlebihan berterima kasih padaku, itu terucap karena kerendahan hati beliau saja.
Sampai beberapa lama ucapan itu masih terngiang di telinga. Bukan karena aku merasa pantas mendapat ucapan itu tetapi kondisi bapak itu tadi yang membuatku jadi merenung. Seorang diri di usia tuanya, toh Allah tidak meninggalkannya seorang diri. Ada yang Allah kirim padanya untuk merawat dia, dan sangat jadi kedekatan hubungan kami adalah bentuk kasih sayang Allah kepadanya, hanya Allah jadikan kami sebagai perantaranya.
Sebagaimana halnya bayi yang hadir tak berdaya ketika hadir di dunia, Allah hadirkan orang-orang dewasa di sekelilingnya untuk merawat dan menolongnya hingga bayi itu tumbuh dewasa, maka demikian pula Allah akan hadirkan orang-orang muda di sekeliling orangtua untuk merawat dan melayaninya. Semuanya itu mudah bagi Allah azza wa jalla.
Yang kita harus kita lakukan hanya tawakal, yakin pada pertolongan Allah dan menjaga ketaatan kita kepadaNya maka tak akan pernah ada bayang-bayang suram masa tua. Insya Allah.

Senin, 12 Agustus 2013

HIKMAH DI BALIK MUSIBAH

Ada sepasang suami istri yang menjadi teman lantaran seringnya bertemu di apotek.Merreka berdua belum dikaruniai momongan setelah waktu cukup lama usia pernikahan mereka. Sekian banyak usaha dijalaninya dengan sabar, tanpa pernah sedikitpun mengeluh. Terlihat tenang, tidak terlihat kemrungsung, dan melewati hari dengan aktivitas keseharian sebagaimana pasangan bahagia lainnya.
Hingga suatu saat kudengar kabar temanku ini hamil. Masya Allah, ikut bahagia rasanya merasakan nikmat yang Allah beri, apalagi mereka baru saja selesai membangun rumah. Sebuah kebahagiaan yang sempurna sepertinya.
Hingga tatkala kehamilan istrinya berusia 7 bulan , Allah memanggil suaminya setelah sakit bebetapa hari saja.
Termenung aku menyaksikan kejadian ini, apa hikmah dari musibah ini? Setelah sepertinya sempurna kebahagiaan yang Allah beri, Allah memberi ujian yang begitu berat, seakan-akan hendak menegaskan pada manusia tidak ada kebahagiaan sempurna di dunia ini.
Hanya orang yang beriman kepada takdir Allah yang bisa bersabar dan tetap husnudhan bahwa apa yang menimpanya adalah yang terbaik untuk dirinya. Tidaklah Allah mendzalimi hambaNya melainkan manusialah yang mendzalimi diri mereka sendiri.
Belakangan kuketahui, sang suami ternyata telah menderita sakit yang cukup lama bahkan dokter waktu itu sudah memperkirakan batas limit untuknya, tetapi Allah takdirkan dia menikah dan mendapatkan istri yang baik untuknya. Kemudian Allah beri kesempatan padanya untuk membangun rumah dan meninggalkan seorang anak yang akan menemani istrinya sepeninggal dia. Ketegaran istrinya menerima takdir Allah ini sungguh mengagumkan. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan? (QS. Ar-rahman)
Sungguh ada hikmah yang besar di setiap ujian yang Allah beri dan ada pahala yang besar bagi mereka yang ridha dengan ketentuanNya.
Wallahu'alam bisshawab.