Kamis, 28 Februari 2013

MUDAHKAN ANAKMU UNTUK BAHAGIA



Seorang teman mampir ke apotek setelah berbelanja di sebuah mall di yogyakarta. "Aku bar nukoke tas anakku mbak, aku ra seneng nek tas anakku ana sing madhani"cerita temanku itu sembari menunjukkan tas yang dibelikan untuk anaknya. Saat itu anaknya masih duduk di kelas 2 SD.

Agak heran aku mendengar ceritanya, bukankah itu akan menyusahkan anaknya sendiri kelak?. Ketika gengsi ditanamkan sejak dini, maka dia terbiasa untuk bahagia setelah apa yang dia punya lebih dari yang dipunyai teman2nya. Bukankah lama2 anaknya akan makin susah untuk bahagia? Karena betapapun kekayaan seseorang itu, keinginan selalu diatas kemampuan manusia.

Sejatinya mengajarkan kesederhanaan pada anak bukan persoalan ngirit semata, tetapi mengajarkannya untuk mudah bersyukur, qonaah(merasa cukup dengan yang ada) dan mengendalikan hawa nafsu. Dan itu adalah perkara besar, jauh lebih besar dari sekedar masalah uang

GADIS GALAU



"
Siang itu, seorang gadis datang ke apotek sepulang sekolah lengkap dengan seragam SMA dan kerudung yang melekat di kepalanya.
Dikeluarkannya sebuah tes pack dari tasnya, terlihat 2 garis merah di atasnya.
Gadis itu bertanya: "Bu, kalo seperti ini itu positif?
" Iya, kalo terlihat 2 garis merah itu berarti positif"., jawabku.
" Tapi saya tidak berbuat apa-apa...", bantah gadis itu.
" Kalo tidak berbuat apa-apa, kenapa takut? kenapa harus dites juga?.
" Saya cuman ciuman Bu, apa ciuman bisa membuat hamil?
Dengan gemas plus jengkel kujawab: "Tentu saja ciuman tidak menyebabkan hamil !".
Belum selesai kujawab, sudah datang pasien lain ke apotek dan gadis itupun segera berlalu tanpa pamit. Sedih aku memandang gadis itu pergi.
Seorang gadis diusia belia jatuh dalam sebuah masalah yang sesungguhnya amat besar karena ketidakpahaman dan kebebasan berlebihan yang tidak disadarinya. Begitu terbuka, begitu lugu, entah saking tidak mudengnya, atau saking takutnya, aku tidak tahu. 
Dosa besar yang semakin lama semakin tidak terlihat dikarenakan banyaknya godaan dan banyaknya pelaku, hingga kekurang waspadaan orangtua mengawasi anak-anaknya. Bahkan niat baik untuk mengenakan kerudung sebagai seragam sekolah tak cukup menjaga tingkah lakunya.
Astaghfirullahaldzim.
"

Minggu, 24 Februari 2013

DI SUATU PAGI



Di pagi yang masih gelap, embun masih basah, di sebuah tempat penambangan batu seorang ibu sudah bekerja seorang diri, berbekal sebotol air putih dalam botol bekas minuman kemasan. Di bukit kecil itu, ibu itu menambang batu putih dengan alat seadanya kemudian dikumpulkannya bongkahan-bongkahan batu yang diperolehnya di pinggir jalan, bongkahan batu putih yang biasa digunakan untuk pondasi rumah. Entah, sejak jam berapa dia sudah di sana, dan mengapa harus dia yang bekerja di sana, kemana suaminya, kemana anaknya?  Sebuah tanya yang tak terjawab dan mungkin tak perlu juga dijawab, kenyataan telah memberi banyak jawaban. Sayang sekali saat itu tidak bisa mengambil gambar ibu itu, tetapi gambaran itu masih terekam kuat karena apa yang kusaksikan begitu menggores di hati.
 Kenapa ?
Karena ibu itu kutemui saat aku dan suami sedang jalan jalan pagi, menyusuri  jalan desa dengan bergandengan tangan. Seakan masa pensiun datang lebih awal.  Aku menjadi tersadar,betapa berlimpah ruahnya Allah memberi  nikmat padaku, di saat yang sama aku gembira ria jalan pagi dan sesampai di rumah ada segelas teh manis panas, sedangkan  ibu itu sudah harus membungkuk-bungkuk badan menggali batu dengan linggis dan hanya dengan bekal sebotol air putih dingin. Allahu Rabbi, ampuni daku yang sering tak menyadari nikmatMu, yang masih suka berhitung-hitung ketika beramal. Dan yang membuat lebih trenyuh lagi, ketika ibu itu kusapa, dia menjawab dengan ramah, tiada rasa sesal dan sebal melihat orang lain sedang santai sedang dia sudah harus membanting tulang. Ketika orang miskin ridha dengan rizqi yang Allah beri, masih bisakah yang mampu merasa lebih mulia hanya karena dia lebih berharta?
Begitu banyak potret kemiskinan terpampang di negeri ini. Masih bisakah menggerakkan hati kita? Atau lama-lama jadi biasa dan hanya merasa beruntung kita tidak bernasib seperti itu? Semoga saja tidak…

NIKMAT YANG TIDAK DISADARI



Ini kejadian sudah lama, seorang ibu datang ke apotek kemudian bertanya,” Bu, ada obat untuk terlambat datang bulan ?”.
Saya suka ilfiil jika ada yang tanya seperti ini, biasa langsung kujawab,” terlambat berapa hari?”
Ibu itu pun menjawab,” sudah 15 hari”.
“Sudah dicek dengan tes pack belum”, tanyaku selanjutnya.
“Alaah bu, anakku sudah 3, masak belum tahu aku hamil atau tidak”, jawab ibu itu.
Betul bukan, prasangka burukku terbukti. “Jadi, jenengan sudah tahu kalo hamil, lalu kenapa malah cari obat untuk terlambat bulan?’, tanyaku agak jengkel.
“Anakku sudah 3 bu, aku tidak ingin punya anak lagi”, ibu itu masih membela perbuatannya.
“Bukankah ada bapaknya, ada yang bertanggung jawab, mengapa harus ditolak rizqi yang Allah beri?”.
 Jengkel rasanya, apa hak dia menghalangi kehidupan yang Allah kehendaki dalam rahimnya? Begitu banyak pasangan suami istri mendambakan kehadiran anak dalam kehidupan rumah tangga mereka, mereka yang diberi karunia malah ingin menghilangkannya. Kalau kehamilan yang terjadi dalam rumah tangga yang sah saja ingin dihilangkan, bagaimana jika terjadi di luar pernikahan? Sungguh suatu kedzaliman yang besar terhadap Allah ta’ala.
Beberapa bulan setelah kejadian itu, ibu itu datang lagi ke apotek. Sebenarnya aku sudah tidak ingat padanya, tetapi dia langsung berkata ” Bu, aku dosa tenan kalih jenengan”. “Lho, kok sama aku?” jawabku keheranan.
“Iya, sehabis dari sini dulu, bapakke tahu aku hamil dan seneng banget ngerti aku hamil maneh. Akhirnya kehamilanku kurawat tetapi setelah usia 5 bulan aku kecapekan terus pendarahan, aku sempat bedrest tetapi akhirnya janinku tidak bisa bertahan, janinku meninggal. Gelane aku mbak…”, cerita ibu itu menjelaskan kejadian yang menimpanya.
Aku tak menyangka kejadiannya akan seperti itu, “Bukan sama aku jenengan le dosa, tetapi sama Allah, mohonlah ampun kepada Allah atas niat buruk yang pernah terlintas, moga2 Allah mengampuni kesalahane jenengan’, hiburku.
Aku tercenung beberapa saat setelah ibu itu berlalu. Banyak manusia tidak tahu akan nikmat yang diterima, alih-alih dia jadi bersyukur yang terjadi malah nikmat itu mengantarkannya pada kemaksiatan  yang besar pada Allah azza wa jalla. Beruntung jika dia sempat menyesalinya jika waktu untuknya telah habis, mau menyesal…? Astaghfirullahal adzim
Kuceritakan kejadian yang agak lama ini, semoga bisa diambil hikmahnya dan mengingatkan untuk mensyukuri dan merawat nikmat Allah yang bernama Anak.

DI KALIURANG



Saat liburan beberapa waktu lalu, kami menemani ponakan2 bermain di kaliurang. Hari masih pagi ketika kami sampai di kawasan tlogo putri, Kaliurang. Kawasan wisata tlogo putri kaliurang sejak erupsi merapi tak seramai dulu, meski di pelataran parkir dan warung2 makan sudah kembali rapi tidak demikan halnya di bagian dalam tlogo putri. Pohon-pohon yang tumbang masih dibiarkan di sana-sini, jalan ke arah puncak plawangan tertutupi ranting-ranting pohon.
Puncak plawangan adalah puncak tertinggi dari tlogoputri ini, dari sini bisa terlihat jelas puncak gunung merapi bahkan sampai kinahrejo, desa tempat tinggal mbah marijan. Pemandangannya kata ibu2 yang menjual makanan & minuman sangat bagus. Sayang lumayan jauh dan menanjak. Berhubung napasku mengkis2 kalo jalan menanjak, aku langsung pamit ketika diajak naik ke plawangan. Alhasil suamiku naik ke atas bersama dengan 5 ponakanku dan aku berbalik arah ke pintu keluar.
Ketika suamiku naik ke atas, aku baru sadar kalo mereka tidak membawa minuman dan lebih parah lagi dompet suamiku pun terbawa olehku. Waduuh bagaimana kalo mereka kehausan? Ketika mereka turun suamiku bercerita, saat mereka naik mereka ditemani oleh seorang ibu penjual makanan minuman yang dibawa dengan gendongan, ibu itu berjualan di atas.  Ketika melihat anak-anak kecapekan dan terlihat kehausan, ibu itu menawari dagangannya. “Niku lare-larene sami ngelak pak, ditumbaske minuman niki lhe pak”. Suamiku menjawab,” dompet kula keri bu”. “ Mboten nopo2 pak, dipundhut riyin mawon mesaake lare-larene’, kata ibu itu lagi. “Trus mangke kula mbayare pripun?’ tanya suamiku. “Gampil pak, mangke meng titipke kanca kula sing mande teng ngandhap, titip ngge bu siti mangke pun mudeng”, ibu itu terus meyakinkan suamiku. Meski awalnya ragu-ragu karena tidak enak hati, akhirnya suamiku beli juga 6 botol minuman untuk ponakanku.
Begitu turun segera suamiku mengambil dompet dan segera mencari teman ibu itu tadi untuk membayar minuman. Ternyata memang langsung dimengerti oleh teman penjual ibu itu tadi.Kejadian itu  begitu berkesan buat suamiku, betapa si ibu penjual begitu percaya pada orang yang baru ditemuinya. Kalaulah itu taktik berdagang, bukankah kemungkinan dia rugi sangat besar? Enam botol minuman bukan jumlah sedikit untuk klas penjual gendongan seperti dia. Kemudian ternyata juga ada saling kepercayaan antar penjual itu, percaya bahwa temannya akan menyampaikan uang yang dititipkan padanya.
Sifat amanah, berprasangka baik dan saling tolong menolong  dengan tulus memang sangat indah, dan itu akan sangat terasa di hati siapapun yang melakukannya.  Pelajaran moral yang di dapat dari seorang penjual minuman, dari kawasan tlogo putri kaliurang.