Selasa, 23 Juli 2013

SAHABAT

Ada 2 kejadian yang berbeda yang kualami dengan 2 sahabat yang berbeda.
Sahabat 1, kami bersahabat dekat, padanya kuceritakan apa yang tidak kuceritakan pada orang lain, demikian pula dia. Tetapi suatu ketika kami pernah berkonflik, tiba-tiba saja kami tidak bertegur sapa, entah apa sebabnya tiba-tiba ada sekat diantara kami. Meski kami tak saling sapa tetapi kami tak saling menyakiti. Hingga saatnya Allah hilangkan sekat itu dan kami kembali jadi sahabat, bagaikan saudara. Semoga Allah membarakahi persahabatan ini.
Sahabat 2, kami juga bersahabat dekat, padaku dia bercerita apa yang tidak diceritakannya pada orang lain. Kami bahkan tak pernah bertengkar apalagi berkonflik tetapi karena suatu hal, yang itupun bukan antara aku dan dia , sesuatu di luar kami, menyebabkan ada jarak diantara kami. Bahkan dia denganku sepetti orang lain saja. Segalanya menjadi tak berbekas.
Sampai saat ini pun, sungguh aku tak mengerti apa yang terjadi. Apa hikmah di balik ini semua. Allah yang membolak-balikkan hati, tidak ada yang dapat menyatukan hati kecuali atas idzinNya. Dua hubungan yang berawal sama dengan perjalanan berbeda berakhir dengan sebaliknya. Berpisah denganku jelas bukan merupakan satu kerugian, tetapi bagiku kehilangan seorang teman dekat tetap mendatangkan kesedihan meski peristiwa itu sudah berlalu cukup lama.
Hanya bisa berharap Allah memberikan yang terbaik untukku dan dia, dan menghindarkan aku dari mendzaliminya tanpa kusadari.
Terima kasih banyak yang masih bersedia menjadi sahabatku hingga saat ini, moga bisa jadi sahabat yang baik untuk kalian .
#Edisi mellow mengenang masa lalu, dengan catatan semua pelaku bergender sama.

Minggu, 21 Juli 2013

CERITA DARI PANTI 5

Di hari minggu pagi itu, seorang anak panti datang ke rumahku. Pagi hari tadi saat bertemu di pengajian ahad pagi, anak itu terlihat bete.
Sesudah kusapa dia, kukeluarkan minum dan makanan sekedarnya. Setelah terlihat tenang kutanya dia" kok sendirian, tidak bilang ya sama teman - teman kalo mau ke sini?"
"Nggak bu, sama ibu(ibu pengasuh) juga tidak" jawabnya.
"Kenapa?"
" Bete bu, abis ngaji masuk kamar, diam, tapi rasanya kok makin sumpek kayak mau pecah, trus ambil sepeda ke sini bu", ceritanya membuka percakapan kami pagi itu.
Menurut ceritanya dia bersepeda sambil emosi meluap ingin menumpahkan kesuntukan hatinya itu. Jarak yang ditempuh untuk sampai ke rumahku hampir 7 km jauhnya.
Seorang remaja dengan kegalauan yang besar mempunyai energi yang sangat tinggi untuk menuntaskan kegalauannya. Jika dalam emosi bisa bersepeda dengan kecepatan penuh sejauh 7 km, bayangkan saja, sampai di mana dia jika punya sepeda motor.
Maka dia akan pergi kemana yang dekat di hati/pikiran mereka, pada apa yang mereka nilai bisa menyelesaikan problem mereka. Problem mereka seringkali di pandang remeh sama orang dewasa tetapi apapun yang mereka rasakan tetap harus ditanggapi serius karena mereka memang baru belajar untuk menyelesaikan persoalan mereka. Kesalahan dalam mensikapi problem mereka bisa berdampak pada ketidakmampuan mereka menyelesaikan persoalan di masa depannya.
Setelah mendengar ceritanya, berdiskusi dan dia sudah terlihat tenang. Kukatakan padanya, " Sudah lega to ?". "Pulanglah, hadapi kenyataan, selesaikan persoalanmu dengan teman-temanmu"
"Kalo ibu marah gimana bu?
' Minta maaf dong, kamu memang salah lain kali jangan pergi tanpa pamit"
"Ya bu" Dia sudah bisa tersenyum. Senang melihatnya.
Ketika kuantar pulang, kulihat tas ransel besar di sepedanya.
"Bawa apa itu?"
"Rukuh bu tadi penginnya mau sampai sore di sini", jawabnya sambil tersenyum.
"Jangan suka melarikan diri lama-lama, tidak baik " pesanku dambil mengantar dia pulang.
Beberapa minggu kemudian bertemu dengannya.
Dia tersenyum manis sambil berkata," Selesai bu semuanya, tuntas".
Senang sekali dia sudah berhasil menyelesaikan persoalannya. Mudah-mudahan Allah selalu menjagamu dan menjadikan kalian semua anak-anak yang mandiri bertanggungjawab dan bertaqwa kepada Allah subhana wa taala

Selasa, 09 Juli 2013

KEDATANGAN SAUDARA

Belum lama ini saya kedatangan saudara sepupu, laki laki, yang sudah sangat lama tidak bertemu. Entah kapan terakhir kami bertemu, saya tidak bisa mengingatnya. Tetapi menurut penuturannya terakhir bertemu adalah ketika membantu kami pindahan rumah tahun 1984, itu berarti 31 tahun yang lalu. Waktu itu saya masih kecil, dia sudah dewasa. Dengan selisih usia yang cukup jauh, hampir 9 tahun, seingatku dulu juga tidak terlalu akrab.
Entah apa yang membawa dia tiba- tiba ingat padaku dan berniat untuk mengunjungiku. Ketika bertemu, wajahnya masih kuingat hanya terlihat tua dengan kondisi badan sedikit tidak terurus. Rupanya dia sekarang tinggal di yogya, sendiri, sudah beberapa tahun bercerai dengan isrrinya tanpa dikaruniai seorang anak. Dia mendengar aku tinggal di yogya kemudian mencari tahu alamatku dan menghubunginya.
Terenyuh aku mendengar ceritanya, saudara-saudaranya tak lagi peduli padanya, mungkin karena perangai buruknya dulu karena sering pergi dari rumah atau apa, aku tak ingin menegaskannya. Biarlah dia menumpahkan rasa rindunya untuk bercerita tentang saudaranya, tentang dirinya, yang selama ini mungkin tak diperolehnya.
Saat itu aku baru menyadari kenapa dia mencariku, setelah sebelumnya mencari kakakku di solo. Kerinduan akan saudara, kerinduan untuk diakui sebagai saudara.
Baru mengerti mengapa Allah dan RasulNya sangat menekankan untuk menjaga kekerabatan, bahkan shadaqah yang diberikan kepada saudaranya bernilai ganda, pahala shodaqah dan pahala menyambung tali shilaturahmi. Juga satu amalan berbakti pada orangtua setelah mereka betdua meninggal adalah menjaga hubungan dengan saudara-saudara dan sahabat mereka.
Inil adalah bagian kenikmatan dari Allah ta'alaa, sungguh tidak enak hidup sendirian tanpa ada saudara yang mengenali.
Sebuah renungan menjelang Ramadhan 2013.

PENGORBANAN SEORANG ANAK

Sore itu seorang ibu datang ke apotek bersama anak perempuannya.
Ibu itu bertanya bagaimana merawat luka anaknya di kaki agar cepat kering.
" Nek ngangge sepatu niku trus teles melih bu",begitu ibu itu menjelaskan keluhannya.
Permasalahan ibu itu bukan sesuatu hal yang besar tetapi percakapan antara ibu dan anaknya sesudah kujelaskan bagaimana merawat luka anaknya itu yang menarik.
Ibu itu berkata, " saged mboten nggeh anak kula nglakonine". Kemudian ibu itu menengok anaknya, " mudeng ora nok sing dijelaske ibu'e mau?" Anaknya menganggukkan kepalanya.
" Saben dinten anak kula niki kula tinggal bu, sakderenge tangi kula pun teng pasar", jelas ibu itu sebelum kutanya.
" Bapak'e teng pundi", tanyaku.
" Nggih kalih kula bu teng pasar, simbahe mboten dados setunggal nggih celak ning pun griya piyambak, dados bocah kula tangi trus adus piyambak, siap-siap sekolah piyambak nggih pun kula siapke sakderenge, jelas ibu itu selanjutnya.
"Kelas pinten bu putrane?"
"Kelas kalih bu"
Pembicaraan terhenti karena aku tak tega untuk bertanya lebih lanjut sejak usia berapa anak itu ditinggal.
Prihatin sekali mendengar cerita ibu itu, jelas dia tidak mungkin disalahkan karena hal itu dilakukan untuk menyambung hidupnya. Bagaimana seorang anak sudah dipaksa untuk memahami kondisi orangtuanya sejak usia dini.
Dalam kondisi ekonomi yang makin berat seperti sekarang ini bukankah makin banyak kemungkinannya anak-anak indonesia yang bernasib sama? Mereka bukan hanya tidak mendapatkan pendidikan yang baik bahkan hak terbesar mereka pun terenggut yaitu hak untuk tumbuh dalam penjagaan dan kebersamaan dengan ibunya.