Sore itu seorang ibu datang ke apotek bersama anak perempuannya.
Ibu itu bertanya bagaimana merawat luka anaknya di kaki agar cepat kering.
" Nek ngangge sepatu niku trus teles melih bu",begitu ibu itu menjelaskan keluhannya.
Permasalahan ibu itu bukan sesuatu hal yang besar tetapi percakapan antara ibu dan anaknya sesudah kujelaskan bagaimana merawat luka anaknya itu yang menarik.
Ibu itu berkata, " saged mboten nggeh anak kula nglakonine". Kemudian ibu itu menengok anaknya, " mudeng ora nok sing dijelaske ibu'e mau?" Anaknya menganggukkan kepalanya.
" Saben dinten anak kula niki kula tinggal bu, sakderenge tangi kula pun teng pasar", jelas ibu itu sebelum kutanya.
" Bapak'e teng pundi", tanyaku.
" Nggih kalih kula bu teng pasar, simbahe mboten dados setunggal nggih celak ning pun griya piyambak, dados bocah kula tangi trus adus piyambak, siap-siap sekolah piyambak nggih pun kula siapke sakderenge, jelas ibu itu selanjutnya.
"Kelas pinten bu putrane?"
"Kelas kalih bu"
Pembicaraan terhenti karena aku tak tega untuk bertanya lebih lanjut sejak usia berapa anak itu ditinggal.
Prihatin sekali mendengar cerita ibu itu, jelas dia tidak mungkin disalahkan karena hal itu dilakukan untuk menyambung hidupnya. Bagaimana seorang anak sudah dipaksa untuk memahami kondisi orangtuanya sejak usia dini.
Dalam kondisi ekonomi yang makin berat seperti sekarang ini bukankah makin banyak kemungkinannya anak-anak indonesia yang bernasib sama? Mereka bukan hanya tidak mendapatkan pendidikan yang baik bahkan hak terbesar mereka pun terenggut yaitu hak untuk tumbuh dalam penjagaan dan kebersamaan dengan ibunya.
Ibu itu bertanya bagaimana merawat luka anaknya di kaki agar cepat kering.
" Nek ngangge sepatu niku trus teles melih bu",begitu ibu itu menjelaskan keluhannya.
Permasalahan ibu itu bukan sesuatu hal yang besar tetapi percakapan antara ibu dan anaknya sesudah kujelaskan bagaimana merawat luka anaknya itu yang menarik.
Ibu itu berkata, " saged mboten nggeh anak kula nglakonine". Kemudian ibu itu menengok anaknya, " mudeng ora nok sing dijelaske ibu'e mau?" Anaknya menganggukkan kepalanya.
" Saben dinten anak kula niki kula tinggal bu, sakderenge tangi kula pun teng pasar", jelas ibu itu sebelum kutanya.
" Bapak'e teng pundi", tanyaku.
" Nggih kalih kula bu teng pasar, simbahe mboten dados setunggal nggih celak ning pun griya piyambak, dados bocah kula tangi trus adus piyambak, siap-siap sekolah piyambak nggih pun kula siapke sakderenge, jelas ibu itu selanjutnya.
"Kelas pinten bu putrane?"
"Kelas kalih bu"
Pembicaraan terhenti karena aku tak tega untuk bertanya lebih lanjut sejak usia berapa anak itu ditinggal.
Prihatin sekali mendengar cerita ibu itu, jelas dia tidak mungkin disalahkan karena hal itu dilakukan untuk menyambung hidupnya. Bagaimana seorang anak sudah dipaksa untuk memahami kondisi orangtuanya sejak usia dini.
Dalam kondisi ekonomi yang makin berat seperti sekarang ini bukankah makin banyak kemungkinannya anak-anak indonesia yang bernasib sama? Mereka bukan hanya tidak mendapatkan pendidikan yang baik bahkan hak terbesar mereka pun terenggut yaitu hak untuk tumbuh dalam penjagaan dan kebersamaan dengan ibunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar