Kerupuk
ini terbuat dari singkong yang diparut kemudian dibumbui dengan garam,
bawang dan daun bawang, di cetak di atas tutup panci kemudian diuapkan
di atas panci berisi air mendidih baru dijemur. Di solo dulu, kami
menyebutnya romeo, entah kemana si yulietnya. He he he.
Di sinetron preman pensiun, disebutnya kecimpring.
Lamaa...saya tidak mau makan kerupuk ini. Bukan karena tidak doyan atau tidak suka. Lebih karena kerupuk ini mengingatkan saya pada ibu saya. Dulu semasa masih kecil, ibu membuat kerupuk ini untuk mendapatkan uang belanja tambahan karena penghasilan bapak sebagai pegawai negeri rendahan tidak cukup untuk menghidupi 6 anaknya. Setiap kali lihat kerupuk ini selalu teringat betapa ibu saya harus kerja keras untuk membuat kerupuk-kerupuk seperti ini. Hal itu yang membuat saya tidak tega makan si romeo ini.
Tetapi, ternyata si kecimpring ini malah sering hadir di kehidupan saya. Lewat kakak ipar saya yang tinggal di daerah jawa barat. Dia sering hadir menjadi oleh-oleh ketika mudik karena banyak tetangga-tetangganya memberi kakak saya si kecimpring ini untuk oleh-oleh saat pulang ke yogya. Maka kecimpring ini hadir dengan wajah yang berbeda , dia hadir membawa cinta. Buah dari kebaikan tetangga dan keinginan membahagiakan saudara. Maka sungguh tak pantas jika sesuatu yang hadir karena cinta saya terima dengan kesedihan.
Rasanya pun sakjane memang enak.
Maka saya mencoba untuk memaknainya berbeda, agar bisa berdamai dengan masa lalu dan tidak menjadikan kesusahan masa lalu sebagai prasasti yang dikenang dengan penuh air mata. Hayyah lebay.
Mencoba untuk memaknai bahwa kerja keras bukan sebuah kesedihan, bentuk cinta seorang ibu kepada anaknya dan contoh nyata bahwa kesulitan hidup bukan untuk ditangisi tetapi diatasi untuk kebahagiaan di masa depan. Kerja keras yang menumbuhkan cinta, kebanggaan dan kehormatan diri. Kebaikan yang tak bisa dibalas dengan emas sepenuh bumi.
Semoga kerupuk-kerupuk itu akan menjadi saksi dihadapan Allah Subhana wa Ta'alaa dan menjadi asbab berlimpahnya rahmat dan kasih sayang Allah kepada ibu kelak. Amiin..#ngusap airmata.
Pagi ini, kerupuk itu hadir di meja makanku juga dengan penuh cinta.
Di sinetron preman pensiun, disebutnya kecimpring.
Lamaa...saya tidak mau makan kerupuk ini. Bukan karena tidak doyan atau tidak suka. Lebih karena kerupuk ini mengingatkan saya pada ibu saya. Dulu semasa masih kecil, ibu membuat kerupuk ini untuk mendapatkan uang belanja tambahan karena penghasilan bapak sebagai pegawai negeri rendahan tidak cukup untuk menghidupi 6 anaknya. Setiap kali lihat kerupuk ini selalu teringat betapa ibu saya harus kerja keras untuk membuat kerupuk-kerupuk seperti ini. Hal itu yang membuat saya tidak tega makan si romeo ini.
Tetapi, ternyata si kecimpring ini malah sering hadir di kehidupan saya. Lewat kakak ipar saya yang tinggal di daerah jawa barat. Dia sering hadir menjadi oleh-oleh ketika mudik karena banyak tetangga-tetangganya memberi kakak saya si kecimpring ini untuk oleh-oleh saat pulang ke yogya. Maka kecimpring ini hadir dengan wajah yang berbeda , dia hadir membawa cinta. Buah dari kebaikan tetangga dan keinginan membahagiakan saudara. Maka sungguh tak pantas jika sesuatu yang hadir karena cinta saya terima dengan kesedihan.
Rasanya pun sakjane memang enak.
Maka saya mencoba untuk memaknainya berbeda, agar bisa berdamai dengan masa lalu dan tidak menjadikan kesusahan masa lalu sebagai prasasti yang dikenang dengan penuh air mata. Hayyah lebay.
Mencoba untuk memaknai bahwa kerja keras bukan sebuah kesedihan, bentuk cinta seorang ibu kepada anaknya dan contoh nyata bahwa kesulitan hidup bukan untuk ditangisi tetapi diatasi untuk kebahagiaan di masa depan. Kerja keras yang menumbuhkan cinta, kebanggaan dan kehormatan diri. Kebaikan yang tak bisa dibalas dengan emas sepenuh bumi.
Semoga kerupuk-kerupuk itu akan menjadi saksi dihadapan Allah Subhana wa Ta'alaa dan menjadi asbab berlimpahnya rahmat dan kasih sayang Allah kepada ibu kelak. Amiin..#ngusap airmata.
Pagi ini, kerupuk itu hadir di meja makanku juga dengan penuh cinta.