Kamis, 18 September 2014

CERITA DARI PANTI 5

Sebuah sms masuk dari salah seorang anak penghuni panti asuhan yang biasa kukujungi.
"Ibu saya ingin keluar dari panti".
"Ada apa, apa yang terjadi?"
"Tidak tahu ni bu, sudah tidak kerasan saja".
Sampai di sini sms tidak kubalas, jika dia menceritakan duduk persoalannya maka kuusahakan untuk bisa menemaninya, tapi ketika jawabannya menunjukkan kegalauan saja maka biar dia bisa berpikir dulu, biar belajar untuk memahami persoalan dirinya sendiri. Untuk masalah penting seperti itu mestinya bukan berdasarkan kegalauan. Itu yang hendak kusampaikan dengan tidak kujawab smsnya.
Panti Asuhan di mana aku sering kesana bukanlah panti asuhan sebagaimana yang dikesankan di cerita-cerita, mereka semua masih punya orangtua meski tidak lengkap, pagi mereka sekolah biasa, selebihnya mereka dididik dengan pendidikan agama. Ada ustadz pengasuhnya.
Sedang yang bertanya padaku pun sudah lulus SMA yang sedianya mau melanjutkan kuliah atas biaya panti. Jadi bukannya aku kejam tho dicurhati kok tidak dibales, wajar bukan ketika aku berharap dia bersikap dewasa?.
Meski mereka anak panti asuhan, meski mereka selama ini " hidup" dari santunan, aku berharap mereka mempunyai kemandirian sikap, bisa menentukan sikap untuk kebaikan mereka sendiri, dan bukannya menjadi lemah jiwanya. Kemandiran sikap dibangun dengan mengenali apa yang jadi persoalannya, baru bisa memutuskan jalan keluar dari persoalan tersebut.
Seseorang memang cenderung bersimpati ketika mendengar kesusahan orang lain tetapi akan menjadi tidak baik ketika menjadikan sesorang berpikir orang lain harus menolongnya ketika dia merasa susah. Apalagi jika bantuan itupun harus sesuai keinginannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar