Rumah di desa atau daerah pinggiran biasanya tak berpagar, kalaulah ada pagar hanya sebatas tembok pendek atau bahkan hanya dari tanaman semak yang dibentuk pagar. Tak berkecuali rumah mertuaku yang pinggir jalan negara jalur selatan pun tak berpagar. Kata mendiang ayah mertuaku" mengko ndak ora disaba tangga". Demikianlah orang desa memang lebih mementingkan hubungan baik dengan tetangga dengan menghilangkan sekat-sekat yang mungkin bisa membatasi. Masalah keamanan menjadi suatu hal yang mereka sandarkan pada kebersamaan dan kedekatan hubungan antar tetangga.
Ketika jaman mulai berubah dan terjadi perubahan sosial dan ekonomi masyarakat, rumah- rumah mulai berpagar tetapi tetap yang membedakan adalah pagar itu tidak dikunci.
Berbeda dengan di kota, apalagi di perumahan elit maka pagar-pagar dibuat tinggi, batas antara kepemilikan masing-masing orang dibuat begitu tegas dan jelas. Masing-masing orang sibuk, jangankan untuk bertegur sapa, sekedar melihat tetangganya lewatpun belum tentu bisa setiap hari. Pagar-pagar begitu rapat, seakan-akan tak pernah tahu kalau ada tetangga di sebelah rumah. Maka dalam kondisi demikian hubungan antar masyarakat pun begitu rapuh, tidak ada barrier yang melingkupi setiap anggota masyarakat sehingga yang terjadi setiap orang menanggung permasalahannya sendiri, tidak ada kepedulian, tidak ada tenggang rasa.Masalah lo derita lo, begitu ungkapan anak alay.
Gejala ini semakin menunjukkan gambarannya secara nyata dan di banyak tempat tidak hanya di daerah elit saja. Semakin orang sibuk mengejar gaya hidup dan kebutuhan yang selalu berlari lebih cepat dari jangkauan manusia, berhubungan dengan tetangga menjadi satu hal yang tidak teragendakan. Dalam tragedi sosial yang terjadi di negara ini, kepedulian baru timbul setelah terjadi kehebohan. Tidak ada sistem masyarakat yang terbangun yang bertujuan menjadi penyangga sehingga setiap kesulitan yang dialami salah satu anggota masyarakat akan segera diketahui, sebagaimana alarm akan membangunkan dan mengaktifkan sistem yang terbentuk. Bisa jadi ini cuman mimpi atau lebih parah lagi halusinasi. Akan tetapi melihat kondisi masyarakat indonesia yang super duper penuh masalah maka satu langkah mudah dan sederhana untuk memperbaikinya adalah dengan memulihkan hubungan dengan tetangga. Menyempatkan diri untuk berkomunikasi, menyapa dan tersenyum pada tetangga adalah langkah sederhana yang bisa kita lakukan. Bukankah Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda", barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia memuliakan tetangganya". Masih banyak lagi nasihat Rasulullah berkaitan dengan tetangga sehingga salah seorang sahabat berkata sampai aku mengira bahwa tetangga akan memperoleh hak waris juga.
Di jaman internet ketika dunia tanpa batas, yang terjadi kita membuat batas yang tinggi dengan tetangga kita. ketika kita sibuk tersenyum dengan emoticon senyum di mana-mana, tetangga sebelah malah tidak tahu kalu kita bisa senyum, bukankah ini sebuah ironi?
Rumah tanpa pagar hanya sebuah simbolis saja, bukan untuk mempertentangkan kondisi kota dan desa. Hanya sebuah simbol ajakan agar kita membuka hati, melapangkan hati untuk menjalin kebersamaan dalam kebaikan.
Ketika jaman mulai berubah dan terjadi perubahan sosial dan ekonomi masyarakat, rumah- rumah mulai berpagar tetapi tetap yang membedakan adalah pagar itu tidak dikunci.
Berbeda dengan di kota, apalagi di perumahan elit maka pagar-pagar dibuat tinggi, batas antara kepemilikan masing-masing orang dibuat begitu tegas dan jelas. Masing-masing orang sibuk, jangankan untuk bertegur sapa, sekedar melihat tetangganya lewatpun belum tentu bisa setiap hari. Pagar-pagar begitu rapat, seakan-akan tak pernah tahu kalau ada tetangga di sebelah rumah. Maka dalam kondisi demikian hubungan antar masyarakat pun begitu rapuh, tidak ada barrier yang melingkupi setiap anggota masyarakat sehingga yang terjadi setiap orang menanggung permasalahannya sendiri, tidak ada kepedulian, tidak ada tenggang rasa.Masalah lo derita lo, begitu ungkapan anak alay.
Gejala ini semakin menunjukkan gambarannya secara nyata dan di banyak tempat tidak hanya di daerah elit saja. Semakin orang sibuk mengejar gaya hidup dan kebutuhan yang selalu berlari lebih cepat dari jangkauan manusia, berhubungan dengan tetangga menjadi satu hal yang tidak teragendakan. Dalam tragedi sosial yang terjadi di negara ini, kepedulian baru timbul setelah terjadi kehebohan. Tidak ada sistem masyarakat yang terbangun yang bertujuan menjadi penyangga sehingga setiap kesulitan yang dialami salah satu anggota masyarakat akan segera diketahui, sebagaimana alarm akan membangunkan dan mengaktifkan sistem yang terbentuk. Bisa jadi ini cuman mimpi atau lebih parah lagi halusinasi. Akan tetapi melihat kondisi masyarakat indonesia yang super duper penuh masalah maka satu langkah mudah dan sederhana untuk memperbaikinya adalah dengan memulihkan hubungan dengan tetangga. Menyempatkan diri untuk berkomunikasi, menyapa dan tersenyum pada tetangga adalah langkah sederhana yang bisa kita lakukan. Bukankah Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda", barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia memuliakan tetangganya". Masih banyak lagi nasihat Rasulullah berkaitan dengan tetangga sehingga salah seorang sahabat berkata sampai aku mengira bahwa tetangga akan memperoleh hak waris juga.
Di jaman internet ketika dunia tanpa batas, yang terjadi kita membuat batas yang tinggi dengan tetangga kita. ketika kita sibuk tersenyum dengan emoticon senyum di mana-mana, tetangga sebelah malah tidak tahu kalu kita bisa senyum, bukankah ini sebuah ironi?
Rumah tanpa pagar hanya sebuah simbolis saja, bukan untuk mempertentangkan kondisi kota dan desa. Hanya sebuah simbol ajakan agar kita membuka hati, melapangkan hati untuk menjalin kebersamaan dalam kebaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar