Kami memandangi anak kami yang napasnya
tinggal satu-satu.
Peralatan medis yang semula begitu banyak menempel di tubuhnya tak ada lagi. Tinggal tersisa selang yang dihubungkan dengan monitor di depan kami.
Saya hanya bisa mengelus Hariz, mencium keningnya, pipinya, dan berbisik di telinganya.
“Ibu ikhlas, Nak. Kami ikhlas jika waktumu telah tiba. Pergilan… Ibu Iklhas.”
Peralatan medis yang semula begitu banyak menempel di tubuhnya tak ada lagi. Tinggal tersisa selang yang dihubungkan dengan monitor di depan kami.
Saya hanya bisa mengelus Hariz, mencium keningnya, pipinya, dan berbisik di telinganya.
“Ibu ikhlas, Nak. Kami ikhlas jika waktumu telah tiba. Pergilan… Ibu Iklhas.”
Membaca baris-baris
kalimat dalam kisah berjudul “UNTUKMU, PIPO” kita
seakan ikut larut dalam suasana batin penulisnya. Merasakan kecemasan yang sama
di setiap kejadian yang diceritakan, turut menahan nafas menunggu perkembangan
kesehatannya, merasakan kesedihan yang sama saat melihat begitu banyak alat
bantu yang menempel ditubuh anaknya hingga ikut tergugu dibelakangnya saat
kepergian itu tiba. Membaca keseluruhan kisah ini membuatku seraya ingin
terbang ke saat itu dan memeluknya, memeluk ibu yang sabar dan tegar luar biasa
itu, memeluk sahabatku.
Kisah diatas adalah
kisah nyata yang dialami oleh seorang ibu yang berturut-turut kehilangan 3 anak
lelakinya karena masalah dengan kekebalan tubuhnya, Niken Sesanti Suci Rohani, sahabatku
sejak SMA. Selama 3 tahun di SMA kami sekelas, 2tahun diantaranya 1 bangku,
kemudian kami masuk dan diwisuda di hari yang sama dari UGM dan selama kuliah
itu pula kami tinggal satu kost. Saya cukup mengetahui ketangguhannya dan
ketegarannya dalam mengatasi setiap persoalan dan bagaimana dia bisa
menyimpannya dibalik sikap cerianya. Tetapi membaca kisahnya secara lengkap
saat merawat anak lelakinya, yang dipanggil Afya kakaknya dengan PIpo, sungguh
membuatku tak bisa berkata-kata lagi, sungguh tak bisa terbayangkan bagaimana
dia bisa melewati semua itu.
Allah Yang Maha
Pengasih dan Penyayang tak pernah
meninggalkan hambaNya sendirian, dan memberi pahala kepada hambaNya yang sabar dengan
pahala yang tiada batas.
Masih ada 10 kisah
menarik lainnya dari ibu-ibu yang berjuang untuk mengatasi persoalan yang
ditemui dalam kehidupan rumah tangga mereka, semuanya ditulis oleh pelaku dari
kisah itu sendiri.
Hanya jika boleh
sedikit mengkritik pada kisah”Mukjizat itu Ada” oleh Sari Meutia, sebaiknya ada
ungkapan penyesalan telah menggugat Tuhan, setelah mendapati bahwasanya Allah
banyak memberi nikmat dan pertolongan untuk kesembuhan suaminya padahal dia
sempat menggugat Tuhan. “Leave me alone, kenapa menggangguku dan keluargaku terus?’begitu tulisnya, adalah kalimat yang
tak sepatutnya keluar meski hanya dipikiran saja dari seorang muslimah. Tak
pantas Allah digugat seberat apapun cobaan yang diterima.
Akhir kata buku ini sangat menarik untuk dibaca, semoga yang menulis dan membaca bisa mengambil hikmah dari semua peristiwa bahwa Allah tak pernah menjadikan suatu musibah dan ujian itu sia-sia selalu ada hikmah dan pahala yang besar bagi hambaNya yang sabar dan ridha dengan ketetapannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar