Adalah Septa, seorang pemuda difabel yang kukenal lewat cerita suamiku.
Dia mempunyai satu kaki yang tidak berfungsi optimal. Saat remaja dia
disekolahkan oleh salah satu yayasan sosial. Sesekali dia hadir di
majelis taklim yang diadakan di lingkungan kampus UII.
Beberapa kali menghadiri majelis taklim, sampailah dia pada satu kesadaran bahwa jika dia tidak beribadah kepada Allah, tidak mengisi hidupnya dengan ketaatan pada Allah, maka rugilah hidupnya. Di dunia dia sudah sengsara, di akhirat dia juga akan sengsara. Maka semenjak itu dia lebih giat untuk belajar agama.
Begitulah seorang difabel yang Allah takdirkan mempunyai keterbatasan, tidak menjadikannya menggugat takdir Allah. Dia bisa menjadikan keterbatasannya untuk memahami apa kehendak Allah atas dirinya.
Dan hari ini dia merintis pengajian untuk para difabel, agar teman-teman senasib dengan dirinya menemukan kesadaran seperti dirinya.
Semoga Allah melimpahkan barakahNya, memudahkan usahanya dan menerima semua amal ibadahnya.
Beberapa kali menghadiri majelis taklim, sampailah dia pada satu kesadaran bahwa jika dia tidak beribadah kepada Allah, tidak mengisi hidupnya dengan ketaatan pada Allah, maka rugilah hidupnya. Di dunia dia sudah sengsara, di akhirat dia juga akan sengsara. Maka semenjak itu dia lebih giat untuk belajar agama.
Begitulah seorang difabel yang Allah takdirkan mempunyai keterbatasan, tidak menjadikannya menggugat takdir Allah. Dia bisa menjadikan keterbatasannya untuk memahami apa kehendak Allah atas dirinya.
Dan hari ini dia merintis pengajian untuk para difabel, agar teman-teman senasib dengan dirinya menemukan kesadaran seperti dirinya.
Semoga Allah melimpahkan barakahNya, memudahkan usahanya dan menerima semua amal ibadahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar