Minggu, 24 Februari 2013

DI SUATU PAGI



Di pagi yang masih gelap, embun masih basah, di sebuah tempat penambangan batu seorang ibu sudah bekerja seorang diri, berbekal sebotol air putih dalam botol bekas minuman kemasan. Di bukit kecil itu, ibu itu menambang batu putih dengan alat seadanya kemudian dikumpulkannya bongkahan-bongkahan batu yang diperolehnya di pinggir jalan, bongkahan batu putih yang biasa digunakan untuk pondasi rumah. Entah, sejak jam berapa dia sudah di sana, dan mengapa harus dia yang bekerja di sana, kemana suaminya, kemana anaknya?  Sebuah tanya yang tak terjawab dan mungkin tak perlu juga dijawab, kenyataan telah memberi banyak jawaban. Sayang sekali saat itu tidak bisa mengambil gambar ibu itu, tetapi gambaran itu masih terekam kuat karena apa yang kusaksikan begitu menggores di hati.
 Kenapa ?
Karena ibu itu kutemui saat aku dan suami sedang jalan jalan pagi, menyusuri  jalan desa dengan bergandengan tangan. Seakan masa pensiun datang lebih awal.  Aku menjadi tersadar,betapa berlimpah ruahnya Allah memberi  nikmat padaku, di saat yang sama aku gembira ria jalan pagi dan sesampai di rumah ada segelas teh manis panas, sedangkan  ibu itu sudah harus membungkuk-bungkuk badan menggali batu dengan linggis dan hanya dengan bekal sebotol air putih dingin. Allahu Rabbi, ampuni daku yang sering tak menyadari nikmatMu, yang masih suka berhitung-hitung ketika beramal. Dan yang membuat lebih trenyuh lagi, ketika ibu itu kusapa, dia menjawab dengan ramah, tiada rasa sesal dan sebal melihat orang lain sedang santai sedang dia sudah harus membanting tulang. Ketika orang miskin ridha dengan rizqi yang Allah beri, masih bisakah yang mampu merasa lebih mulia hanya karena dia lebih berharta?
Begitu banyak potret kemiskinan terpampang di negeri ini. Masih bisakah menggerakkan hati kita? Atau lama-lama jadi biasa dan hanya merasa beruntung kita tidak bernasib seperti itu? Semoga saja tidak…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar