Di pagi yang masih
gelap, embun masih basah, di sebuah tempat penambangan batu seorang ibu sudah
bekerja seorang diri, berbekal sebotol air putih dalam botol bekas minuman
kemasan. Di bukit kecil itu, ibu itu menambang batu putih dengan alat seadanya kemudian
dikumpulkannya bongkahan-bongkahan batu yang diperolehnya di pinggir jalan,
bongkahan batu putih yang biasa digunakan untuk pondasi rumah. Entah, sejak jam
berapa dia sudah di sana, dan mengapa harus dia yang bekerja di sana, kemana
suaminya, kemana anaknya? Sebuah tanya
yang tak terjawab dan mungkin tak perlu juga dijawab, kenyataan telah memberi
banyak jawaban. Sayang sekali saat itu tidak bisa mengambil gambar ibu itu,
tetapi gambaran itu masih terekam kuat karena apa yang kusaksikan begitu menggores
di hati.
Kenapa ?
Karena ibu itu
kutemui saat aku dan suami sedang jalan jalan pagi, menyusuri jalan desa dengan bergandengan tangan. Seakan
masa pensiun datang lebih awal. Aku
menjadi tersadar,betapa berlimpah ruahnya Allah memberi nikmat padaku, di saat yang sama aku gembira
ria jalan pagi dan sesampai di rumah ada segelas teh manis panas,
sedangkan ibu itu sudah harus
membungkuk-bungkuk badan menggali batu dengan linggis dan hanya dengan bekal
sebotol air putih dingin. Allahu Rabbi, ampuni daku yang sering tak menyadari
nikmatMu, yang masih suka berhitung-hitung ketika beramal. Dan yang membuat
lebih trenyuh lagi, ketika ibu itu kusapa, dia menjawab dengan ramah, tiada
rasa sesal dan sebal melihat orang lain sedang santai sedang dia sudah harus
membanting tulang. Ketika orang miskin ridha dengan rizqi yang Allah beri,
masih bisakah yang mampu merasa lebih mulia hanya karena dia lebih berharta?
Begitu banyak potret
kemiskinan terpampang di negeri ini. Masih bisakah menggerakkan hati kita? Atau
lama-lama jadi biasa dan hanya merasa beruntung kita tidak bernasib seperti
itu? Semoga saja tidak…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar